DIMENSI-DIMENSI
PENGETAHUAN.
Kata dimensi digunakan untuk menunjukan sudut pandang terhadap sesuatu.
Dimensi Keilmuan diartikan sebagai pilihan kita bagaimana memandang, melihat,
atau mengkaji ilmu pengetahuan, misalnya apakah kita akan meliat ilmu
pengetahuan dari sudut :
- substansinya atau apanya
- cara memperoleh, mengembangkan, dan menggunakannya
- kita akan melihat manfaat dan nilainya.
Perbedaan
sudut pandang tersebut hanyalah sebagai perbedaan kehendak, karena ketiga sudut
pandang itu pada praktek berpkirnya tidak terpisahkan. Pada saat kita
mempelajari substansi sesuatu tidak terlepas dari keinginan untuk melihat
bagaimana cara meperoleh, menembankan, mengunakannya dan apa manfaat dari yang
dipelajari tersebut.
1.DIMENSI ONTOLOGIS
Isilah “ontologi”
berasal dari kata Yunani “onta” yang
berarti sesuatu “yang sunguh-sungguh ada”, “kenyattan yan sesugguhnya”, dan “logos” yan berarti “studi tentang”,
“studi yang membahas sesuatu” (Angles, 1981). Jadi Ontologi adalah studi yang
membahas sesuatu yang sunguh-sungguh ada. Secara teminologis ontologi juga
diartikan sebagai metafisika umum yaitu cabang filsafat yang mempelajari sifat
dasar dari kenyataan yang terdalam, ontologi membahas asas-asas rasional dari
kenyataan (Kttsof, 1986).
Objek material ontologi adalah yang ada, artinya segala-galanya meliputi yang ada sebagai wujud
konkret dan abstrak, inderawi, mauoun tidak inderawi. Objek formal ontologi
adalah memberika dasar yang paling umum tiap masalah yang menyangkut manusia,
dunia dan Tuhan. Titik tolak dasar ontologi adalah refleksi terhadap kenyataan
yan palng dekat, yaitu manusia sendiri dan dunianya.
Dengan demikian, ontologi berarti sebagai suatu
usaha intelektual untuk mendiskripsikan sifat-sifat umum dari kenyataan; suatu
usaha untuk memperoleh penjelasan yang benar tentang kenyataan; studi tentang
sifat pokok kenyataan dalam aspeknya yang palin umum sejauh hal ini dapat
dicapai; teori tentang sifat pokok dan struktur dari kenyataan (Mudhofir,
1998).
Fungsi
kajian ontologi.
Fungsi atau manfaat dalam mempelajari ontologi
antara lain :
1. Berfungsi
sebagai refleksi kritis atas objek atau idang garapan, konsep-konsep, asumsi-asumsi
dan postulat-postulat ilmu. Ontologi menjadi penting sebab, pertama kesalahan suatu asumsi, akan
melahirkan teori, metodologi keilmuan yan salah pula, sebagai contoh ilmu
ekonomi dikmbangkan atas dasar postulat bahwa “manusia adalah serigala bagi manusia
lainnya” dan asumsi bahwa hakikat manusia adalah “homo ekonomikus (mahluk yang
serakah)” (Sastrapratedja, 1988).
2. Ontoloi membantu ilmu untuk menyususun suatu
pandangan dunia yang integral, komprehensif, dan koheren. Ilmu dengan ciri
khasnya mengkaji tentang hal-hal yang khusus untuk dikaji secara tuntas yang
pada akhirnya diharap dapat memperoleh gambaran tentang objek telaahnya. Namun
pada kenyataanya terkadang hasil temuan ilmiah berhenti pada simpulan-simpulan
yang parsial dan terpisah-pisah.
3. Ontologi membantu memberi masukan informasi
untuk mengatasi permasalahan yang tidak mampu dipecahkan oleh ilmu-ilmu khusus.
Dalam hal ini ontologi berfungsi membantu memetakan batas-batas ilmu yang dapat
diketahui manusia itu dari tahun ke tahun atau abad ke abad.
Problematik ontologi.
Pada intinya problematik ontologi adalah problematik
tentng ada atau keberadaan. Berbagai masalah keberadaan tersebut, antara lain
masalah kuantitas (jumlah) dan susunan dari keberadaan atau eksistensi kualitas
(sifat) dari keberadaan atau eksistensi; dan proses dari kebeadaan atau
eksistensi.
Berbagai jawaban atas problematik ontologi diatas
akhirnya melahirkan bebagai aliran ontologi. Misalnya, jika ditinjau dari
kuantitasnya, apakah yang ada itu tunggal, dual, atau plural?. Permasalahan ini
akhirnya melahirkan aliran ontologi yaitu monoisme,
dualisme, dan pluralisme. Monoisme adalah aliran ontologi yang bahwa
hakikat yang ada itu tunggal. Dualisme adalah aliran ontologi yang berpandangan
bahwa hakikat yang ada tersusun atas dua unsur utama, dan Pluralisme adalah
aliran ontologi yang berpandangan bahwa hakikat yang ada itu jamak.
Permasalahan tentang sifat dan mutu yang ada melahirkan
aliran materialisme dan spiritualisme. Materialisme
beranggapan bahwa hakikat yang ada bersifat kebendaan, sementara itu
spiritualisme beranggapan bahwa hakikat yang ada bersifat spiritual atau
rohaniah.
Permasalahan yang ada ditinjau dari prosesnya telah
melahirkan berbagai aliran, diantaranya aliran mekanisme, teleologisme, vitalisme dan organisme. Mekanisme adalah aliran pemikiran yang berpndangan bahwa
yang ada itu bergerak bedasarkan asas-asas mekanik. Teleologisme adalah aliran
pemikiran yang berpandangan bahwa segala kenyataan yang ada itu tidak
semata-mata karena suatu hukum sebab akibat, namun karena suatu tujuan
tertentu. Vitalisme adalah aliran pemikiran yang berpandangan bahwa hakikat kenyataan
tidak semata-mata terdiri dari unsur fisika kimiawi semata, namun juga ada asas
hidup atau dalam istilah Bergson adanya elan
vital. Organisme adalah aliran pemikiran yang memandang kenyataan hidup
merupakan suatu struktur yang dinamik, suatu kebulatan yang memiliki
bagian-bagian yang heterogen, akan tetapi yang terutama adanya sistem yang
teratur.
Struktur Tubuh Ilmu
Pengetahuan (the body of knowledge).
Analisis
secara kritis pada hakikatnya ditujukan kepada dua komponen yang membangun
suatu pengetahuan ilmiah yakni, pertama pikiran-pikiran dasar yang melandasi
penyusunan suatu pengatahuan ilmiah dan, kedua, tubuh pengetahuan teoritis yang
dibangun diatas kerangka landasan pikiran dasar tersbut. Pikiran dasar keilmuan
itu postulat, asumsi, prinsip, dalil, teori, dan indikator.
Postulat
adalah anggapan dasar konstektual tentang suatu wujud yang dilihat dari sudut
pandang tertentu tentang sesuatu, misalnya tentang manusia, yaitu apa yang
dimaksudkan dengan manusia adalah makhluk ekonomi (Homo economicus) atau makhluk pendidikan (Homo educandu).
Postulat
merupakan pernyataan yang dianggap benar dan diperlukan untuk menyusun kerangka
berpikir anggapan tipe 2 disebut sebagai asumsi yakni pernyataan yang harus
diverivikasi kebenarannya apakah matri yang dikandung pernyataan itu sesuai
dengan kenyataan atau tidak.
Prinsip
termasuk salah satu pikiran daar dalam mengembangkan tubuh pengetahuan teoretis.
Prinsip merupakan pernyataan yang menghubungkan seperangkat postulat dan
asumsi.
Seperti
juga asumsi pernyataan yang dikandung dalam sebuah prinsip sudah mengacu pada
realitas empiris sehingga perlu diferifikasi kbenarannya. Prinsip ini meskipun
pada hakikatnya merupakan pikiran dasar yang membangun tubuh pengetahuan
teoritis bersama postulat dan asumsi, dalam hal-hal tertentu dapat merupakan
bagian dari tubuh pengetahuan teoritis.
Kalau
kita telaah lebih lanjut, baik pengetahuan metodologis maupun teoritis bermula
dari pengetahuan dasar yang sama yakni pengetahuan mengenai hakikat ilmu
pengetahuan yang kita sebut sebagai filsafat ilmu. Di sini kita telah
merumuskan cara pandang yang khas mengenai filsafat ilmu yakni “pengungkapan
hakikat dan keterkitan antara pengetahuan metodologis dengan pengetahuan
teorotis”, artinya, dengan filsafat ilmu kita mencoba menganalisis proses
penemuan dan penyusunan pengetahuan teoritis keilmuan berdasarkan metodologi
ilmiah.
Pengetahuan
mengenai ketrikatan ini diharapkan akan dapat membuka dan memperluas wawasan
serta pendalaman pengetahuan teoritis yang ditopang oleh penguasaan
metodologis. Pada satu pihak, kita mengetahui hakikat dan fungsi pengetahuan
teoritis dalam proses kegiatan ilmiah, sedangkan dipihak lain, kita juga
mengetahui hakikat dan fungsi pengetahuan metodologis dalam menemukan dan
menyusun pengetahuan teoritis tersebut. Pendekatan seperi ini akan memperkuat
penguasaan pengetauan baik yang berupa pengetahuan teoritis maupun metodologi.
Tentu saja apakah prinsip ini benar atau tidak haruslah diverifikasi secara
empiris dalam suatu penelitian ilmiah yang memenuhi syarat.
Manfaat Landasan
Ontologi bagi Dunia Keilmuan.
Secara umum relevansi ontologi bagi ilmu adalah bahwa
ontologi dapat dijadikan dasar merumuskan hipotesis-hipotesis baru untuk
memperbaharui asumsi-asumsi dasr yang pernah digunakan (Peursen, 1985:13).
Ontologi juga merupakan sarana ilmiah untuk menemukan jalan dalam menangani
suatu masalah secara ilmiah.
Landasan ontologi relevan bagi dunia ilmuan dewasa ini
antara lain : memberikan landasan bagi asumsi keilmuan dan membantu terciptanya
komunikasi interdisipliner atau multidisipliner. Artinya ontologi membantu
pemetaan kenyataan, batas-batas ilmu, dan
kemungkinan kombinasi antar berbagai ilmu.
Ontologi juga relevan dalam merefleksikan problem
pembangunan. Pembangunan selama ini terbukti belum dapat mewujudkan masyarakat
yang adil dan makmur, kegagalan ini tidak terlepas dari aspek ontologi yang
melandasi konsep pembangunan di Indonesia, yang lebih didominasi oleh pandangan
positifistik. Keadilan dan kemakmura dalam prespektif positivistik hanya
dibatasi pada yang terukur, tertakar, dan tertimbang. Refleksi ontologi dalam
hal ini membantu kita dalam memahami kenyataan yang tidak semata-mata yang
digambarkan oleh positivisme tersebut. Ontologi mampu menunjukan kompleksitas
kenyataan sekaligus memetakannya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dimensi ontologis
merupakan kajian dari ilmu pengatahuan tentang eksistensi ilmu pengetahuan. Denagn
demikian dimensi ontologis memberikan dasar yang fundamental tehadap
konsistensi pembangunan dan penerapan ilmu pengetahuan. Landasan ontologis ini
membawa implikasi bagi landasan epistemologi dan aksiologi ilmu. Ketiga
landasan ini senantiasa terkait dan saling mempengaruhi.
2.DIMENSI
EPISTEMOLOGI
Epistemologi dalam
Keilmuan.
Epistemologi sering juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Istilah epitemologi
berasal dari bahasa Yunani episteme yang
artinya pengetahuan, dan logos yang
artinya teori. Jadi, epitemologi dapat didefinisikan sebagai dimensi filsafat
yang mempelajari asal mula, sumber, manfaat, dan sahihnya pengetahuan. Secara
sederhana disebutkan saja sebagai bagaimana cara mempelajari, mengembangkan,
dan memanfaatkan ilmu bagi kemaslahatan manusia.
Epistemologi menjadi dasar pijakan dalam memberikan
legitimasi bagi suatu ilmu pengetahuan untuk diakui sebagai disiplin ilmu, dan
menntukan keabsahan disiplin ilmu tertentu. Dengan demikian epitemologi juga
memberi kerangka acuan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan.
Problematik dalam
Epistemologi.
Fenomena epistemologi realisme tampak pada adanya ilmu
pengetahuan yang lebih menekankan aspek empirirk, akibatnya muncul pandangan
apa yang disebut pandangan yang bersifat pragmatis. Kegunaan atau yang dapat
dirasakan dampaknya secara fisik, merupakan hal uatama untuk dikembangkan.
Kehidupan matrealistis yang pragmatis itu menjadi model dalam kehiudupan
sehari-hari.
Walaupun demikian pragmatism
tidak diambil begitu saja, karena perbedaan budaya. Akibatnya proses adopsi
ilmu pengetahuan tidak sepenuhnya mengambil tradisi masyarakat ilmiah Barat,
melainkan lebih cenderung mengambil ilmu sebagai suatu produk. Untuk Indonesia
khususnya diperlukan landasan epitemologi baru yang dapat mewadahi secara
proporsional pemikiran empirirs modern yang cenderung humanisme sekuler dan
landasan epistemologi humanistik religious yang dapat membantu memandang
realitas secara lebih komprehensif dalam menyelesaikan persoalan masa kini
sesuai dengan budaya bangsa.
Landasan epitemologis ilmu menyangkut cara berpikir
keilmuan berkenaan dengan kriteria tertentu agar sampai pada kebenaran ilmiah.
Dengan kata lain, yang dibicarakan dalam epistemologi ilmu adalah suatu proses
berpikir ilmiah. Sesuai dengan perkembangannya , ilmu berkembang melalui taraf
berpikir sebagai berikut : (a) ilmu rasional, (b) ilmu rasional empirik, (c)
ilmu rasional empirik eksperimental. Dalam rangka ilmu-ilmu modern cara berpikir
ilmiah berkenaan dengan kriteria ilmu rasional empirik atau ilmu rasional empirik
eksperimental.
3.DIMENSI
AKSIOLOGIS.
Pengertian Aksiologi.
Secara etimologis, aksilogis berasal dari kata aksios yang berarti nilai dan logos yang berarti ilmu atau teori.
Aksilogis sebagai teori tentang nilai membahas tentang hakikat nilai, sehingga
disebut filsafat nilai. Persoalan tentang nilai apabila dibahas secara
filsafati akan lebih memperhatikan persoalan tentang sumber nilai. Dalam
definisi yang hampir serupa bahwa aksiolgi ilmu pengetahuan membahas
nilai-nilai yang memberi batas-batas bagi pengembangan ilmu.
Problematik dalam
Aksiologi.
Didalam filsafat ilmu terjadi banyak kesibukan dalam
menghadapi pertanyaan apakah ilmu bersifat bebas nilai atau tidak. Suatu
tanggapan disebut pertimbangan nilai (value
judgement) jika didalamnya orang mengatakan sesuatu hal baik atau tidak,
positif atau negatif, atau apakah sesuatu hal layak untuk diutamakan
dibandingkan dengan hal yang lain. Ini berarti hal tersebut terikat oleh asas
moral keilmuan.
Konsisten dengan asas moral dalam pemilihan objek
penelaah ilmiah, maka penggunaan pengetahuan ilmiah mempunyai asas moral
tertentu pula. Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk
kemaslahatan manusia. Dalam hal ini maka ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana
dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia,
martabat manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam. Salah satu alas an
untuk tidak mencampuri masalah kehidupan adalah kekhawatiran bahwa hal ini akan
mengganggu keseimbangan kehidupan.
Secara epistemologis, ilmu memang disusun dan
dikembangkan sedikit demi sedikit secara atomistic, namun untuk kepentingan
manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun itu
dimiliki dan dipergunakan secar holistic, komunal, dan universal
(Suriasumantri, 1983). Manusia memiliki ilmu pengetahuan bukan secara parsial
melainkan secara menyeluruh. Komunal bearti bahwa ilmu merupakan pengetahuan
yang menjadi milik berama, setiap oran berhak memanfaatkan ilmu menurut
kebutuhannya, sesuai dengan asas kebersamaan. Universal berarti ilmu tidak
memiliki konotasi parokhyal seperti ras, idiologi, atau agama.
Fungsi Aksiologi.
Aksilogi ilmu pengetahuan sebagai strategi untuk
mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia yang negatif sehingga ilmu
pengetahuan dan teknologi tetap berjalan pada jalur kemanusiaan. Oleh karena
itu daya kerja aksiologi (1) menjaga dan member arah agar proses keilmuan dapat
menemukan kebenaran yang hakiki, maka perilaku keilmuan perlu dilakukan dengan
penuh kejujuran dan tidak berorientasi kepada kepentingan langsung. (2) Dalam
pemilihan objek penelaah dapat dilakukan secara etis yang tidak mengubah kodrat
manusia, tidak merendahkan martabat manusia, tidak mencampuri permasalahan kehidupan,
dan netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatig, arogansi kekuasaan , dan
kepentingan politik. (3) Pengembangan ilmu pengetahuan diarahkan untuk dapat
meninbgkatkan taraf hidup yang memperhatikan kodart dan martabat manusia serta
keseimbangan, kelestarian alam lewat pemanfaatan ilmu dan temuan-temuan
universal.
Aksiologis dan Nilai
Diskurus yang terjadi diantara para filsuf yaitu apakah
ilmu pengetahuan itu bersifat bebas atau terikat nilai. Aliran
logispositivistik menganggap bahwa ilmu pengetahuan haruslah bebas nilai.
Mengkaitkan antara ilmu dengan nilai akan mengurangi kadar objektivitas ilmiah
dari ilmu. Persoalan ini dianggap merupakan sesuatu yang sifatnya objektif
emosional. Hal-hal yang sifatnya subjektif harus disingkirkan agar validitas
kebenaran yang objektif dapat dipertanggungjawabkan. Sesuatu dikatakan benar
apabila dapat diukur, ditakar dan ditimbang.
Pendapat aliran dualism mengatakan bahwa sebelum
mengambil keputusan, apakah ilmu itu bebas nilai atau terikat nilai, lebih dahulu
ilmu harus didududkan kembali pada kedudukan ilmu itu sendiri. Ilmu menurut
aliran dualism dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu, apakah termasuk dalam
ilmu eksak atau masuk dalam ilmu kerohanian. Apabila masuk dalam ilmu eksak
maka tidak perlu dikaitkan dengan nilai, karena ilmu eksak sudah mempunyai hukum-hukumnya sendiri
sehingga tidak perlu dikaitkan dengan pertimbangan diluar disiplin ilmunya.
Namun, dikotomi tentang ilmu eksak dengan ilmu kerohanian dewasa ini sulit
untuk dituntut pertanggungjawaban ilmiahnya.
Setiap ilmu pada hakikatnya mempunyai metode, (dimensi epitemologi
keilmuan), menurut sudut pandang maupun paradigma sendiri-sendiri, namun dalam
memecahkan permasalahan yang terjadi, ia tidak dapat menutup mata terhadap pean
dari ilmu yang lainnya. Setiap ilmu pada hakikatnya bersifat otonom tetapi
sekaligus relational. Sehingga dialog antar ilmu mutlak diperlukan agar
keputusan yang diambil lebih holistic dan integral.
Aktifitas kegiatan ilmu bukan merupakan hal yang sifatnya
statis, melainkan bersifat dinamis. Ilmu harus bersifat dinamis agar dapat maju
dan berkembang. Riset ilmiah merupakan jantungnya pengembangan ilmu. Riset
ilmiah menjadikan ilmu berkembang. Banyak temuan baru berhsil ditemukan dengan
adanya riset-riset ilmiah tersbut. Hasil-hasil dari temuan riset ilmiah tersbut
tidak terlepas dari munculnya konflik nilai didalamnya.
Tanpa dikontrol dan dikendalikan oleh nilai-nilai etik
pengembangan ilmu akan mendistorsikan martabat manusia. F.Bacon mengatakan
bahwa scient is power (kekuasaan) perlu dikontrol oleh nilai-nilai etis agar
dapat mendudukan kembali hakikat pengembangan ilmu yang berorientasi demi
kebahagiaan dan kemslahatan hidup manusia.
Aksiologi dan Nilai
Secara etimologis aksiologi berasal dari kata axios berarti nilai dan logos berarti ilmu atau teori. Aksilogi sebagai teori tentang nilai
membahas tentang hakikat nilai, sehingga juga disebut fisafat nilai. Persoalan
tentang nilai apabila dibahas secara filsafati akan lebih memperhatikan
persoalan tentang sumber nilai.
Aksilogi didalam bidang kefilsafatan ada hubungannya
dengan hal yang dapat dipikirkan, terutama tentang kebaikan dalm arti yang luas
dan secara moral tidak hanya mencakup kebaikan saja tetapi juga tentang
kenyataan dan keindahan.
Beberapa batsan tentang nilai diajukan oleh para ahli
(Nicholas Rescher, 1969:2) sebagai berikut :
1. Suatu
benda atau barang memiliki nilai atau bernilai, apabila orang menginginkanya
kemudian berusaha atau menambah keinginan untuk memilikinya (George Lundberg).
2. Nilai
adalah suatu yang menimbulkan penghargaan (R.Part and E.W.Burgess).
3. Nilai
adalah dorongan untuk memperhatikan objek, kualitas, atau keadaan yang dapat memuaskan
keinginan (Richard T.La Piere).
4. Nilai
adalah sesuatu objek dari setiap keinginan (Howard Becker).
5. Nilai
adalah harapan atau setiap keinginan atau dipilih oleh seseorang, kadang-kadang
dalam praktek : apa yang diinginkan oleh seseorang (Stuart C.Dodd).
6. Nilai
adalah arti yang diberikan atau diikuti dalam perbuatan berdasarkan dari hasil
pengamatan empirik para warga masyarakat (Florjan Znaniceki).
7. Nilai
adalah konsep, eksplisit atau implicit, yang berbeda dari setiap orang atau
kelompok, keinginan mengadakan pilihan tentang arti perbuatan dan tujuan
perbuatan (Kluckhohn).
8. Nilai
adalah dasar-dasar keinginan bernegara yang mengatur bagi perbuatan kemanusiaan
atau pedoman-pedoman umum perundang-undangan yang mengatur kehidupan
bermasyarakat (Neil J.Smelser).
Pendapat tentang nilai diatas menunjukan adanya
pengertian tentang nilai yang bersifat subjektif dan pengertian nilai yang
bersifat objektif. Pada umumnya pandangan-pandangan tentang nilai lebih
bercorak sintesis.
Persoalan nilai apabila dikaitkan dengan filasaft
dapat dikatakan seperti hubungan manusia sebagai subjek dengan kemampuan
akalnya menangkap objek didasari adanya penghargaan berupa suatu pernyataan
yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Fakta yang merupakan keseluruhan alam
semesta bersama manusia menciptakan situasi yang bernilai. Pernyataan “nilai”
tidak dapat dikatakan hanya berasal dari diri manusia sendiri, akan tetapi
kesadaran manusia menangkap sesuatu di alam semesta.
Persoalan
di dalam aksilogi.
Persoalan yang mendasar di bidang
aksiologi muncul dalam kehidupan dengan bidang yang berbeda-beda. Persoalan
aksiologi dapat muncul dalam bidang etis, estetis, maupun dalam bidang
religious. Frondizi (1963:11) berpendapat bahwa persoalan pokok aksilogi
mencakup tentang nilai subjektif dan nilai objektif, metode memeperoleh nilai,
dan wujud nilai.
Nilai
dan Fakta
Pembicaraan aksiologi tidak dapat
lepas dari permasalahan nilai dan fakta. Pandangan umum sering menjumbuhkan
antara nilai dan fakta, padahal nilai dan fakta tidak sepenuhnya sama. Nilai
didalamnya mengandung hal-hal yang didambakan atau dicita-citakan yang sifatnya
normatif. Fakta didalamnya mengandung pernyataan yang dapat memastikan adanya
suatu objek yang sifatnya kognitif.
Meskipun dapat dibedakan antara
fakta dan nilai, namun tidak dapat dipisahkan antara keduanya. Fakta dan nilai
merupakan dua hal yang saling mepengaruhi. Pertimbangan nilai sangat bergantung
adanya fakta dan fakta menjadi berharga karena adanya nilai.
Klasifikasi
Nilai
Klasifikasi nilai meliputi perbedaan
penggolongan yang diperlukan, sehingga apabila terjadi kesalahan memperhatikan
perbedaan yang diperlukan akan mengakibatkan adanya kekacauan.
Nicholas
Rescher (1969:14-19) mengajukan klasifikasi nilai meliputi :
1. Klasifikasi
nilai berdasarkan pengakuan.
2. Klasifikasi
nilai berdasarkan objek yang dipermasalahkan.
3. Klasifikasi
nilai berdasarkan keuntungan yang diperoleh.
4. Klasifikasi
nilai berdasrkan tujuan yang akan dicapai.
5. Klisifikasi
nilai berdasarkan hubungan antara pengemban nilai dengan keuntungan
a) Nilai
dengan orientasi pada diri sendiri (nilai egoisentris).
b) Nilai
dengan orientasi pada orang lain, yaitu nilai dengan orientasi kelompok.
Hubungan
antara Nilai dan Budaya
Para ahli kebudayaan berpandangan bahwa membahas
tentang kebudayaan harus didasarkan pada petunjuk keyakinan tentang baik buruk,
benar salah, serta indah jelek.
Faktor budaya berpengaruh dominan
dalam proses penilaian. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan, bahwa cara
penilaian sesama warga masyarakat dari lingkungan budaya yang sama atas objek
yang sama, maka hasilnya kurang lebih sama.
Ilmu
Pengetahuan dan Nilai Hidup
Ilmu pengetahuan merupakan
eksplisitasi realitas yang diketahui manusia. Usaha menyingkapkan realitas
berarti usaha membuka tabir yang menutup kebenaran. Manusia mempunyai alat-alat
untuk mencapai kebenaran, sehingga kebenaran dapat diraih. Alat-alat tersebut
trerdiri dari kemampuan-kemampuan sebagai berikut :
1. Indera,
merupakan kemampuan untuk menagkap kebenaran realitas secara fisik dan bersifat
parsial.
2. Naluri,
sebagai kemampuan untuk mempertahankan hidup dan kelangsungan hidup itu
sendiri.
3. Akal,
merupakan kemampuan untuk memahami hubungan sebab akibat dari keputusan,
kejadian atau peristiwa.
4. Rasa,
merupakan daya kemampuan khas manusia yang berupa khayalan atau secara konkret
sebenarnya merupakan kemampuan untuk menangkap harmoni dan keindahan realitas.
5. Karsa,
merupakan daya kemampuan khas manusia untuk memahami martabat kemanusiaannya
sebagai makhluk kerohanian yang mengatasi kepentingan jasmaniahnya.
Landasan ontologis dari imu pemgetahuan adalah
analisis tentang objek materi dari pengetahuan. Objek materi ilmu pengetahuan
adalah hal-hal atau benda-benda empiris. Landasan epistemologis dari ilmu
pengetahuan adalah analisis tentang proses tersusunnya ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan disusun melalui proses yang disebut metode ilmiah (keilmuan).
Landasan
aksiologis dari ilmu pengetahuan adalah analisis tentang penerapan hasil-hasil
temuan ilmu pengetahuan. Penerapan ilmu pengetahuan dimaksudkan untuk pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan dan keluhuran hidup manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar