SELAMAT DATANG

Senin, 09 April 2012

Dimensi Keilmuan


DIMENSI-DIMENSI PENGETAHUAN.
            Kata dimensi digunakan untuk menunjukan sudut pandang terhadap sesuatu. Dimensi Keilmuan diartikan sebagai pilihan kita bagaimana memandang, melihat, atau mengkaji ilmu pengetahuan, misalnya apakah kita akan meliat ilmu pengetahuan dari sudut :
  1. substansinya atau apanya
  2. cara memperoleh, mengembangkan, dan menggunakannya
  3. kita akan melihat manfaat dan nilainya.

Perbedaan sudut pandang tersebut hanyalah sebagai perbedaan kehendak, karena ketiga sudut pandang itu pada praktek berpkirnya tidak terpisahkan. Pada saat kita mempelajari substansi sesuatu tidak terlepas dari keinginan untuk melihat bagaimana cara meperoleh, menembankan, mengunakannya dan apa manfaat dari yang dipelajari tersebut.
1.DIMENSI ONTOLOGIS
Isilah “ontologi” berasal dari kata Yunani “onta” yang berarti sesuatu “yang sunguh-sungguh ada”, “kenyattan yan sesugguhnya”, dan “logos” yan berarti “studi tentang”, “studi yang membahas sesuatu” (Angles, 1981). Jadi Ontologi adalah studi yang membahas sesuatu yang sunguh-sungguh ada. Secara teminologis ontologi juga diartikan sebagai metafisika umum yaitu cabang filsafat yang mempelajari sifat dasar dari kenyataan yang terdalam, ontologi membahas asas-asas rasional dari kenyataan (Kttsof, 1986).
Objek material ontologi adalah yang ada, artinya segala-galanya meliputi yang ada sebagai wujud konkret dan abstrak, inderawi, mauoun tidak inderawi. Objek formal ontologi adalah memberika dasar yang paling umum tiap masalah yang menyangkut manusia, dunia dan Tuhan. Titik tolak dasar ontologi adalah refleksi terhadap kenyataan yan palng dekat, yaitu manusia sendiri dan dunianya.
Dengan demikian, ontologi berarti sebagai suatu usaha intelektual untuk mendiskripsikan sifat-sifat umum dari kenyataan; suatu usaha untuk memperoleh penjelasan yang benar tentang kenyataan; studi tentang sifat pokok kenyataan dalam aspeknya yang palin umum sejauh hal ini dapat dicapai; teori tentang sifat pokok dan struktur dari kenyataan (Mudhofir, 1998).
Fungsi kajian ontologi.
Fungsi atau manfaat dalam mempelajari ontologi antara lain :
1.      Berfungsi sebagai refleksi kritis atas objek atau idang garapan, konsep-konsep, asumsi-asumsi dan postulat-postulat ilmu. Ontologi menjadi penting sebab, pertama kesalahan suatu asumsi, akan melahirkan teori, metodologi keilmuan yan salah pula, sebagai contoh ilmu ekonomi dikmbangkan atas dasar postulat bahwa “manusia adalah serigala bagi manusia lainnya” dan asumsi bahwa hakikat manusia adalah “homo ekonomikus (mahluk yang serakah)” (Sastrapratedja, 1988).
2.  Ontoloi membantu ilmu untuk menyususun suatu pandangan dunia yang integral, komprehensif, dan koheren. Ilmu dengan ciri khasnya mengkaji tentang hal-hal yang khusus untuk dikaji secara tuntas yang pada akhirnya diharap dapat memperoleh gambaran tentang objek telaahnya. Namun pada kenyataanya terkadang hasil temuan ilmiah berhenti pada simpulan-simpulan yang parsial dan terpisah-pisah.
3.   Ontologi membantu memberi masukan informasi untuk mengatasi permasalahan yang tidak mampu dipecahkan oleh ilmu-ilmu khusus. Dalam hal ini ontologi berfungsi membantu memetakan batas-batas ilmu yang dapat diketahui manusia itu dari tahun ke tahun atau abad ke abad.

Problematik ontologi.
            Pada intinya problematik ontologi adalah problematik tentng ada atau keberadaan. Berbagai masalah keberadaan tersebut, antara lain masalah kuantitas (jumlah) dan susunan dari keberadaan atau eksistensi kualitas (sifat) dari keberadaan atau eksistensi; dan proses dari kebeadaan atau eksistensi.
            Berbagai jawaban atas problematik ontologi diatas akhirnya melahirkan bebagai aliran ontologi. Misalnya, jika ditinjau dari kuantitasnya, apakah yang ada itu tunggal, dual, atau plural?. Permasalahan ini akhirnya melahirkan aliran ontologi yaitu monoisme, dualisme, dan pluralisme. Monoisme adalah aliran ontologi yang bahwa hakikat yang ada itu tunggal. Dualisme adalah aliran ontologi yang berpandangan bahwa hakikat yang ada tersusun atas dua unsur utama, dan Pluralisme adalah aliran ontologi yang berpandangan bahwa hakikat yang ada itu jamak.
            Permasalahan tentang sifat dan mutu yang ada melahirkan aliran materialisme dan spiritualisme. Materialisme beranggapan bahwa hakikat yang ada bersifat kebendaan, sementara itu spiritualisme beranggapan bahwa hakikat yang ada bersifat spiritual atau rohaniah.
            Permasalahan yang ada ditinjau dari prosesnya telah melahirkan berbagai aliran, diantaranya aliran mekanisme, teleologisme, vitalisme dan organisme. Mekanisme adalah aliran pemikiran yang berpndangan bahwa yang ada itu bergerak bedasarkan asas-asas mekanik. Teleologisme adalah aliran pemikiran yang berpandangan bahwa segala kenyataan yang ada itu tidak semata-mata karena suatu hukum sebab akibat, namun karena suatu tujuan tertentu. Vitalisme adalah aliran pemikiran yang berpandangan bahwa hakikat kenyataan tidak semata-mata terdiri dari unsur fisika kimiawi semata, namun juga ada asas hidup atau dalam istilah Bergson adanya elan vital. Organisme adalah aliran pemikiran yang memandang kenyataan hidup merupakan suatu struktur yang dinamik, suatu kebulatan yang memiliki bagian-bagian yang heterogen, akan tetapi yang terutama adanya sistem yang teratur.
Struktur Tubuh Ilmu Pengetahuan (the body of knowledge).
Analisis secara kritis pada hakikatnya ditujukan kepada dua komponen yang membangun suatu pengetahuan ilmiah yakni, pertama pikiran-pikiran dasar yang melandasi penyusunan suatu pengatahuan ilmiah dan, kedua, tubuh pengetahuan teoritis yang dibangun diatas kerangka landasan pikiran dasar tersbut. Pikiran dasar keilmuan itu postulat, asumsi, prinsip, dalil, teori, dan indikator.
Postulat adalah anggapan dasar konstektual tentang suatu wujud yang dilihat dari sudut pandang tertentu tentang sesuatu, misalnya tentang manusia, yaitu apa yang dimaksudkan dengan manusia adalah makhluk ekonomi (Homo economicus) atau makhluk pendidikan (Homo educandu).
Postulat merupakan pernyataan yang dianggap benar dan diperlukan untuk menyusun kerangka berpikir anggapan tipe 2 disebut sebagai asumsi yakni pernyataan yang harus diverivikasi kebenarannya apakah matri yang dikandung pernyataan itu sesuai dengan kenyataan atau tidak.
Prinsip termasuk salah satu pikiran daar dalam mengembangkan tubuh pengetahuan teoretis. Prinsip merupakan pernyataan yang menghubungkan seperangkat postulat dan asumsi.
Seperti juga asumsi pernyataan yang dikandung dalam sebuah prinsip sudah mengacu pada realitas empiris sehingga perlu diferifikasi kbenarannya. Prinsip ini meskipun pada hakikatnya merupakan pikiran dasar yang membangun tubuh pengetahuan teoritis bersama postulat dan asumsi, dalam hal-hal tertentu dapat merupakan bagian dari tubuh pengetahuan teoritis.
Kalau kita telaah lebih lanjut, baik pengetahuan metodologis maupun teoritis bermula dari pengetahuan dasar yang sama yakni pengetahuan mengenai hakikat ilmu pengetahuan yang kita sebut sebagai filsafat ilmu. Di sini kita telah merumuskan cara pandang yang khas mengenai filsafat ilmu yakni “pengungkapan hakikat dan keterkitan antara pengetahuan metodologis dengan pengetahuan teorotis”, artinya, dengan filsafat ilmu kita mencoba menganalisis proses penemuan dan penyusunan pengetahuan teoritis keilmuan berdasarkan metodologi ilmiah.
Pengetahuan mengenai ketrikatan ini diharapkan akan dapat membuka dan memperluas wawasan serta pendalaman pengetahuan teoritis yang ditopang oleh penguasaan metodologis. Pada satu pihak, kita mengetahui hakikat dan fungsi pengetahuan teoritis dalam proses kegiatan ilmiah, sedangkan dipihak lain, kita juga mengetahui hakikat dan fungsi pengetahuan metodologis dalam menemukan dan menyusun pengetahuan teoritis tersebut. Pendekatan seperi ini akan memperkuat penguasaan pengetauan baik yang berupa pengetahuan teoritis maupun metodologi. Tentu saja apakah prinsip ini benar atau tidak haruslah diverifikasi secara empiris dalam suatu penelitian ilmiah yang memenuhi syarat.
Manfaat Landasan Ontologi bagi Dunia Keilmuan.
            Secara umum relevansi ontologi bagi ilmu adalah bahwa ontologi dapat dijadikan dasar merumuskan hipotesis-hipotesis baru untuk memperbaharui asumsi-asumsi dasr yang pernah digunakan (Peursen, 1985:13). Ontologi juga merupakan sarana ilmiah untuk menemukan jalan dalam menangani suatu masalah secara ilmiah.
            Landasan ontologi relevan bagi dunia ilmuan dewasa ini antara lain : memberikan landasan bagi asumsi keilmuan dan membantu terciptanya komunikasi interdisipliner atau multidisipliner. Artinya ontologi membantu pemetaan kenyataan,  batas-batas ilmu, dan kemungkinan kombinasi antar berbagai ilmu.
            Ontologi juga relevan dalam merefleksikan problem pembangunan. Pembangunan selama ini terbukti belum dapat mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, kegagalan ini tidak terlepas dari aspek ontologi yang melandasi konsep pembangunan di Indonesia, yang lebih didominasi oleh pandangan positifistik. Keadilan dan kemakmura dalam prespektif positivistik hanya dibatasi pada yang terukur, tertakar, dan tertimbang. Refleksi ontologi dalam hal ini membantu kita dalam memahami kenyataan yang tidak semata-mata yang digambarkan oleh positivisme tersebut. Ontologi mampu menunjukan kompleksitas kenyataan sekaligus memetakannya.
            Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dimensi ontologis merupakan kajian dari ilmu pengatahuan tentang eksistensi ilmu pengetahuan. Denagn demikian dimensi ontologis memberikan dasar yang fundamental tehadap konsistensi pembangunan dan penerapan ilmu pengetahuan. Landasan ontologis ini membawa implikasi bagi landasan epistemologi dan aksiologi ilmu. Ketiga landasan ini senantiasa terkait dan saling mempengaruhi.

2.DIMENSI EPISTEMOLOGI
Epistemologi dalam Keilmuan.
            Epistemologi sering juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Istilah epitemologi berasal dari bahasa Yunani episteme yang artinya pengetahuan, dan logos yang artinya teori. Jadi, epitemologi dapat didefinisikan sebagai dimensi filsafat yang mempelajari asal mula, sumber, manfaat, dan sahihnya pengetahuan. Secara sederhana disebutkan saja sebagai bagaimana cara mempelajari, mengembangkan, dan memanfaatkan ilmu bagi kemaslahatan manusia.
            Epistemologi menjadi dasar pijakan dalam memberikan legitimasi bagi suatu ilmu pengetahuan untuk diakui sebagai disiplin ilmu, dan menntukan keabsahan disiplin ilmu tertentu. Dengan demikian epitemologi juga memberi kerangka acuan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan.
Problematik dalam Epistemologi.
            Fenomena epistemologi realisme tampak pada adanya ilmu pengetahuan yang lebih menekankan aspek empirirk, akibatnya muncul pandangan apa yang disebut pandangan yang bersifat pragmatis. Kegunaan atau yang dapat dirasakan dampaknya secara fisik, merupakan hal uatama untuk dikembangkan. Kehidupan matrealistis yang pragmatis itu menjadi model dalam kehiudupan sehari-hari.
Walaupun demikian pragmatism tidak diambil begitu saja, karena perbedaan budaya. Akibatnya proses adopsi ilmu pengetahuan tidak sepenuhnya mengambil tradisi masyarakat ilmiah Barat, melainkan lebih cenderung mengambil ilmu sebagai suatu produk. Untuk Indonesia khususnya diperlukan landasan epitemologi baru yang dapat mewadahi secara proporsional pemikiran empirirs modern yang cenderung humanisme sekuler dan landasan epistemologi humanistik religious yang dapat membantu memandang realitas secara lebih komprehensif dalam menyelesaikan persoalan masa kini sesuai dengan budaya bangsa.
            Landasan epitemologis ilmu menyangkut cara berpikir keilmuan berkenaan dengan kriteria tertentu agar sampai pada kebenaran ilmiah. Dengan kata lain, yang dibicarakan dalam epistemologi ilmu adalah suatu proses berpikir ilmiah. Sesuai dengan perkembangannya , ilmu berkembang melalui taraf berpikir sebagai berikut : (a) ilmu rasional, (b) ilmu rasional empirik, (c) ilmu rasional empirik eksperimental. Dalam rangka ilmu-ilmu modern cara berpikir ilmiah berkenaan dengan kriteria ilmu rasional empirik atau ilmu rasional empirik eksperimental.
3.DIMENSI AKSIOLOGIS.
Pengertian Aksiologi.
            Secara etimologis, aksilogis berasal dari kata aksios yang berarti nilai dan logos yang berarti ilmu atau teori. Aksilogis sebagai teori tentang nilai membahas tentang hakikat nilai, sehingga disebut filsafat nilai. Persoalan tentang nilai apabila dibahas secara filsafati akan lebih memperhatikan persoalan tentang sumber nilai. Dalam definisi yang hampir serupa bahwa aksiolgi ilmu pengetahuan membahas nilai-nilai yang memberi batas-batas bagi pengembangan ilmu.
Problematik dalam Aksiologi.
            Didalam filsafat ilmu terjadi banyak kesibukan dalam menghadapi pertanyaan apakah ilmu bersifat bebas nilai atau tidak. Suatu tanggapan disebut pertimbangan nilai (value judgement) jika didalamnya orang mengatakan sesuatu hal baik atau tidak, positif atau negatif, atau apakah sesuatu hal layak untuk diutamakan dibandingkan dengan hal yang lain. Ini berarti hal tersebut terikat oleh asas moral keilmuan.
            Konsisten dengan asas moral dalam pemilihan objek penelaah ilmiah, maka penggunaan pengetahuan ilmiah mempunyai asas moral tertentu pula. Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini maka ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam. Salah satu alas an untuk tidak mencampuri masalah kehidupan adalah kekhawatiran bahwa hal ini akan mengganggu keseimbangan kehidupan.
            Secara epistemologis, ilmu memang disusun dan dikembangkan sedikit demi sedikit secara atomistic, namun untuk kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun itu dimiliki dan dipergunakan secar holistic, komunal, dan universal (Suriasumantri, 1983). Manusia memiliki ilmu pengetahuan bukan secara parsial melainkan secara menyeluruh. Komunal bearti bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik berama, setiap oran berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya, sesuai dengan asas kebersamaan. Universal berarti ilmu tidak memiliki konotasi parokhyal seperti ras, idiologi, atau agama.
Fungsi Aksiologi.
            Aksilogi ilmu pengetahuan sebagai strategi untuk mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia yang negatif sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi tetap berjalan pada jalur kemanusiaan. Oleh karena itu daya kerja aksiologi (1) menjaga dan member arah agar proses keilmuan dapat menemukan kebenaran yang hakiki, maka perilaku keilmuan perlu dilakukan dengan penuh kejujuran dan tidak berorientasi kepada kepentingan langsung. (2) Dalam pemilihan objek penelaah dapat dilakukan secara etis yang tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, tidak mencampuri permasalahan kehidupan, dan netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatig, arogansi kekuasaan , dan kepentingan politik. (3) Pengembangan ilmu pengetahuan diarahkan untuk dapat meninbgkatkan taraf hidup yang memperhatikan kodart dan martabat manusia serta keseimbangan, kelestarian alam lewat pemanfaatan ilmu dan temuan-temuan universal.
Aksiologis dan Nilai
            Diskurus yang terjadi diantara para filsuf yaitu apakah ilmu pengetahuan itu bersifat bebas atau terikat nilai. Aliran logispositivistik menganggap bahwa ilmu pengetahuan haruslah bebas nilai. Mengkaitkan antara ilmu dengan nilai akan mengurangi kadar objektivitas ilmiah dari ilmu. Persoalan ini dianggap merupakan sesuatu yang sifatnya objektif emosional. Hal-hal yang sifatnya subjektif harus disingkirkan agar validitas kebenaran yang objektif dapat dipertanggungjawabkan. Sesuatu dikatakan benar apabila dapat diukur, ditakar dan ditimbang.
            Pendapat aliran dualism mengatakan bahwa sebelum mengambil keputusan, apakah ilmu itu bebas nilai atau terikat nilai, lebih dahulu ilmu harus didududkan kembali pada kedudukan ilmu itu sendiri. Ilmu menurut aliran dualism dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu, apakah termasuk dalam ilmu eksak atau masuk dalam ilmu kerohanian. Apabila masuk dalam ilmu eksak maka tidak perlu dikaitkan dengan nilai, karena ilmu eksak  sudah mempunyai hukum-hukumnya sendiri sehingga tidak perlu dikaitkan dengan pertimbangan diluar disiplin ilmunya. Namun, dikotomi tentang ilmu eksak dengan ilmu kerohanian dewasa ini sulit untuk dituntut pertanggungjawaban ilmiahnya.
            Setiap ilmu pada hakikatnya mempunyai metode, (dimensi epitemologi keilmuan), menurut sudut pandang maupun paradigma sendiri-sendiri, namun dalam memecahkan permasalahan yang terjadi, ia tidak dapat menutup mata terhadap pean dari ilmu yang lainnya. Setiap ilmu pada hakikatnya bersifat otonom tetapi sekaligus relational. Sehingga dialog antar ilmu mutlak diperlukan agar keputusan yang diambil lebih holistic dan integral.
            Aktifitas kegiatan ilmu bukan merupakan hal yang sifatnya statis, melainkan bersifat dinamis. Ilmu harus bersifat dinamis agar dapat maju dan berkembang. Riset ilmiah merupakan jantungnya pengembangan ilmu. Riset ilmiah menjadikan ilmu berkembang. Banyak temuan baru berhsil ditemukan dengan adanya riset-riset ilmiah tersbut. Hasil-hasil dari temuan riset ilmiah tersbut tidak terlepas dari munculnya konflik nilai didalamnya.
            Tanpa dikontrol dan dikendalikan oleh nilai-nilai etik pengembangan ilmu akan mendistorsikan martabat manusia. F.Bacon mengatakan bahwa scient is power (kekuasaan) perlu dikontrol oleh nilai-nilai etis agar dapat mendudukan kembali hakikat pengembangan ilmu yang berorientasi demi kebahagiaan dan kemslahatan hidup manusia.
Aksiologi dan Nilai
            Secara etimologis aksiologi berasal dari kata axios  berarti nilai dan logos berarti ilmu atau teori. Aksilogi sebagai teori tentang nilai membahas tentang hakikat nilai, sehingga juga disebut fisafat nilai. Persoalan tentang nilai apabila dibahas secara filsafati akan lebih memperhatikan persoalan tentang sumber nilai.
            Aksilogi didalam bidang kefilsafatan ada hubungannya dengan hal yang dapat dipikirkan, terutama tentang kebaikan dalm arti yang luas dan secara moral tidak hanya mencakup kebaikan saja tetapi juga tentang kenyataan dan keindahan.
            Beberapa batsan tentang nilai diajukan oleh para ahli (Nicholas Rescher, 1969:2) sebagai berikut :
1.      Suatu benda atau barang memiliki nilai atau bernilai, apabila orang menginginkanya kemudian berusaha atau menambah keinginan untuk memilikinya (George Lundberg).
2.      Nilai adalah suatu yang menimbulkan penghargaan (R.Part and E.W.Burgess).
3.      Nilai adalah dorongan untuk memperhatikan objek, kualitas, atau keadaan yang dapat memuaskan keinginan (Richard T.La Piere).
4.      Nilai adalah sesuatu objek dari setiap keinginan (Howard Becker).
5.      Nilai adalah harapan atau setiap keinginan atau dipilih oleh seseorang, kadang-kadang dalam praktek : apa yang diinginkan oleh seseorang (Stuart C.Dodd).
6.      Nilai adalah arti yang diberikan atau diikuti dalam perbuatan berdasarkan dari hasil pengamatan empirik para warga masyarakat (Florjan Znaniceki).
7.      Nilai adalah konsep, eksplisit atau implicit, yang berbeda dari setiap orang atau kelompok, keinginan mengadakan pilihan tentang arti perbuatan dan tujuan perbuatan (Kluckhohn).
8.      Nilai adalah dasar-dasar keinginan bernegara yang mengatur bagi perbuatan kemanusiaan atau pedoman-pedoman umum perundang-undangan yang mengatur kehidupan bermasyarakat (Neil J.Smelser).
Pendapat tentang nilai diatas menunjukan adanya pengertian tentang nilai yang bersifat subjektif dan pengertian nilai yang bersifat objektif. Pada umumnya pandangan-pandangan tentang nilai lebih bercorak sintesis.
Persoalan nilai apabila dikaitkan dengan filasaft dapat dikatakan seperti hubungan manusia sebagai subjek dengan kemampuan akalnya menangkap objek didasari adanya penghargaan berupa suatu pernyataan yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Fakta yang merupakan keseluruhan alam semesta bersama manusia menciptakan situasi yang bernilai. Pernyataan “nilai” tidak dapat dikatakan hanya berasal dari diri manusia sendiri, akan tetapi kesadaran manusia menangkap sesuatu di alam semesta.
Persoalan di dalam aksilogi.
            Persoalan yang mendasar di bidang aksiologi muncul dalam kehidupan dengan bidang yang berbeda-beda. Persoalan aksiologi dapat muncul dalam bidang etis, estetis, maupun dalam bidang religious. Frondizi (1963:11) berpendapat bahwa persoalan pokok aksilogi mencakup tentang nilai subjektif dan nilai objektif, metode memeperoleh nilai, dan wujud nilai.
Nilai dan Fakta
            Pembicaraan aksiologi tidak dapat lepas dari permasalahan nilai dan fakta. Pandangan umum sering menjumbuhkan antara nilai dan fakta, padahal nilai dan fakta tidak sepenuhnya sama. Nilai didalamnya mengandung hal-hal yang didambakan atau dicita-citakan yang sifatnya normatif. Fakta didalamnya mengandung pernyataan yang dapat memastikan adanya suatu objek yang sifatnya kognitif.
            Meskipun dapat dibedakan antara fakta dan nilai, namun tidak dapat dipisahkan antara keduanya. Fakta dan nilai merupakan dua hal yang saling mepengaruhi. Pertimbangan nilai sangat bergantung adanya fakta dan fakta menjadi berharga karena adanya nilai.
Klasifikasi Nilai
            Klasifikasi nilai meliputi perbedaan penggolongan yang diperlukan, sehingga apabila terjadi kesalahan memperhatikan perbedaan yang diperlukan akan mengakibatkan adanya kekacauan.
Nicholas Rescher (1969:14-19) mengajukan klasifikasi nilai meliputi :
1.      Klasifikasi nilai berdasarkan pengakuan.
2.      Klasifikasi nilai berdasarkan objek yang dipermasalahkan.
3.      Klasifikasi nilai berdasarkan keuntungan yang diperoleh.
4.      Klasifikasi nilai berdasrkan tujuan yang akan dicapai.
5.      Klisifikasi nilai berdasarkan hubungan antara pengemban nilai dengan keuntungan
a)      Nilai dengan orientasi pada diri sendiri (nilai egoisentris).
b)      Nilai dengan orientasi pada orang lain, yaitu nilai dengan orientasi kelompok.
Hubungan antara Nilai dan Budaya
            Para ahli  kebudayaan berpandangan bahwa membahas tentang kebudayaan harus didasarkan pada petunjuk keyakinan tentang baik buruk, benar salah, serta indah jelek.
            Faktor budaya berpengaruh dominan dalam proses penilaian. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan, bahwa cara penilaian sesama warga masyarakat dari lingkungan budaya yang sama atas objek yang sama, maka hasilnya kurang lebih sama.
Ilmu Pengetahuan dan Nilai Hidup
            Ilmu pengetahuan merupakan eksplisitasi realitas yang diketahui manusia. Usaha menyingkapkan realitas berarti usaha membuka tabir yang menutup kebenaran. Manusia mempunyai alat-alat untuk mencapai kebenaran, sehingga kebenaran dapat diraih. Alat-alat tersebut trerdiri dari kemampuan-kemampuan sebagai berikut :
1.      Indera, merupakan kemampuan untuk menagkap kebenaran realitas secara fisik dan bersifat parsial.
2.      Naluri, sebagai kemampuan untuk mempertahankan hidup dan kelangsungan hidup itu sendiri.
3.      Akal, merupakan kemampuan untuk memahami hubungan sebab akibat dari keputusan, kejadian atau peristiwa.
4.      Rasa, merupakan daya kemampuan khas manusia yang berupa khayalan atau secara konkret sebenarnya merupakan kemampuan untuk menangkap harmoni dan keindahan realitas.
5.      Karsa, merupakan daya kemampuan khas manusia untuk memahami martabat kemanusiaannya sebagai makhluk kerohanian yang mengatasi kepentingan jasmaniahnya.
Landasan ontologis dari imu pemgetahuan adalah analisis tentang objek materi dari pengetahuan. Objek materi ilmu pengetahuan adalah hal-hal atau benda-benda empiris. Landasan epistemologis dari ilmu pengetahuan adalah analisis tentang proses tersusunnya ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan disusun melalui proses yang disebut metode ilmiah (keilmuan).
     Landasan aksiologis dari ilmu pengetahuan adalah analisis tentang penerapan hasil-hasil temuan ilmu pengetahuan. Penerapan ilmu pengetahuan dimaksudkan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan keluhuran hidup manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar